Jawa Barat

Gerakan Seribu Sehari Dedi Mulyadi Tuai Penolakan Warga Tasikmalaya

×

Gerakan Seribu Sehari Dedi Mulyadi Tuai Penolakan Warga Tasikmalaya

Sebarkan artikel ini

TASIKMALAYA – Gagasan solidaritas sosial dari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berupa Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu atau Poe Ibu menuai pro dan kontra. Program yang mengajak masyarakat menyumbang Rp1.000 per hari untuk membantu warga miskin ini mendapat penolakan dari sebagian warga di Kabupaten Tasikmalaya.

Melalui Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/Kesra yang diterbitkan pada 1 Oktober 2025, Dedi berharap gerakan ini menjadi simbol kepedulian berbasis budaya Sunda. Ia ingin nilai “rereongan” atau semangat saling membantu kembali tumbuh di tengah masyarakat yang kini semakin individualistis.

Namun, bagi sebagian masyarakat kecil, kebijakan ini dianggap tidak realistis. Banyak warga merasa seribu rupiah bukanlah angka kecil, terutama di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok dan pendapatan harian yang tidak menentu.

BACA JUGA: Program Rereongan Rp1.000 per Hari di Jabar Diklaim Tak Butuh Izin Kemensos

“Berat atuh, Pak. Kapan geus mayar pajeg. Pemerintah mestinya bantu rakyat, bukan malah nyuruh rakyat nyumbang lagi,” kata Ilyas, pedagang kaki lima di kawasan Masjid Agung Baiturrahman.

Senada dengan itu, Engkus, warga kampung yang harus menafkahi tujuh anak, mengaku keberatan dengan ajakan donasi harian tersebut. “Seribu buat saya gede, apalagi anak tujuh. Kadang cuma bawa pulang tiga puluh ribu, kalau rame baru lima puluh. Uang segitu aja sudah harus dibagi buat makan dan sekolah,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa bantuan untuk rakyat miskin seharusnya menjadi tanggung jawab negara, bukan rakyat kecil. “Bukannya itu sudah kewajiban negara? Kita kan sudah bayar pajak,” tegasnya.

BACA JUGA: Warga Cidadap Tewas Dipatuk Ular King Kobra Sepanjang 4 Meter, Sempat Melawan Sebelum Tumbang

Sementara itu, kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Tasikmalaya cenderung menanggapi lebih tenang. Mereka mendukung semangat sosial program tersebut, namun menekankan pentingnya mekanisme yang transparan. “Kami mendukung niat baiknya, tapi mekanisme harus jelas. Jangan sampai bantuan tidak sampai ke yang benar-benar membutuhkan,” kata salah seorang ASN.

Sejumlah pengamat menilai, penolakan terhadap program ini mencerminkan jurang persepsi antara pemerintah dan masyarakat bawah. Sosialisasi yang minim membuat sebagian warga menganggap gerakan tersebut bersifat wajib, bukan sukarela.

BACA JUGA: DPRD Sukabumi Soroti Pengurangan Dana Transfer Rp700 Miliar dalam Rapat Raperda APBD 2026

Menanggapi polemik yang berkembang, Dedi Mulyadi kembali menegaskan bahwa donasi Rp1.000 per hari tidak bersifat paksaan, melainkan ajakan moral untuk menumbuhkan kembali kepedulian sosial.

Meski demikian, bagi sebagian rakyat kecil, seribu rupiah bukan sekadar angka—melainkan simbol beratnya perjuangan bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi.