Oleh: Dr. Padlilah, S.H., M.H.
(Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Putra)
Indonesia menegaskan dirinya sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, dalam praktiknya, hukum kerap dipersempit maknanya menjadi sekadar kumpulan aturan formal yang kaku, terpisah dari nilai-nilai kemanusiaan. Situasi ini semakin terasa dalam konteks kebencanaan, ketika negara tidak selalu hadir secara cepat dan menyeluruh menjangkau para korban.
Dalam kondisi darurat bencana, ruang kemanusiaan sering kali diisi oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bergerak secara sukarela. Sayangnya, aksi-aksi tersebut tidak jarang dipandang dengan kacamata politis, bahkan dicurigai secara hukum. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, kegiatan kemanusiaan justru merupakan manifestasi paling nyata dari nilai keadilan substantif yang seharusnya menjadi roh negara hukum.
Pengalaman pascabencana banjir bandang di Kabupaten Sukabumi menjadi contoh konkret. Sejumlah organisasi kemasyarakatan, termasuk Front Persaudaraan Islam (FPI), terlibat langsung dalam evakuasi korban dan penyaluran bantuan. Kehadiran mereka di lapangan menutup celah keterbatasan negara dalam merespons situasi darurat secara cepat. Pertanyaannya kemudian, apakah aksi kemanusiaan semacam ini memiliki legitimasi hukum?
Dari perspektif hukum nasional, jawabannya tegas: ya. Dalam hukum perdata, suatu perbuatan dinilai melawan hukum apabila memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Aksi kemanusiaan yang dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan, dan bertujuan menolong sesama jelas tidak memenuhi unsur perbuatan melawan hukum. Sebaliknya, tindakan tersebut justru mencerminkan asas itikad baik, sebuah prinsip fundamental dalam sistem hukum Indonesia.
Lebih jauh, konstitusi sendiri memberikan ruang yang sangat jelas. Pasal 28A dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk mempertahankan kehidupan dan memperoleh rasa aman. Sementara Pasal 34 ayat (3) memang menegaskan tanggung jawab negara dalam pelayanan sosial, tetapi tidak pernah menutup partisipasi masyarakat. Artinya, keterlibatan ormas dalam penanganan bencana merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara sekaligus perwujudan nilai gotong royong.
Di sinilah pentingnya pendekatan keadilan substantif. Filsafat hukum progresif, sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo, menempatkan hukum sebagai sarana untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum tidak boleh berhenti pada kepastian prosedural semata, tetapi harus mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat. Dalam kondisi darurat bencana, keadilan substantif hadir dalam bentuk tindakan nyata: menyelamatkan jiwa, menjaga martabat manusia, dan memastikan hak-hak dasar tetap terpenuhi.
Aksi kemanusiaan ormas juga tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai keagamaan yang hidup di masyarakat. Dalam hukum Islam, prinsip hifz al-nafs (perlindungan jiwa) dan ta’awun (tolong-menolong dalam kebaikan) merupakan fondasi utama. Nilai-nilai ini sejalan dengan Pancasila, khususnya sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, serta sila kelima tentang keadilan sosial. Tidak ada kontradiksi antara hukum nasional, nilai agama, dan praktik sosial ketika orientasinya adalah kemanusiaan.
Oleh karena itu, memandang aksi kemanusiaan ormas semata-mata melalui kacamata formalistik justru berpotensi mengingkari tujuan utama hukum itu sendiri. Negara hukum yang beradab seharusnya mampu merangkul inisiatif sosial masyarakat, bukan mencurigainya tanpa dasar yang proporsional.
Ke depan, tantangan penegakan hukum bukan hanya soal kepastian aturan, tetapi keberanian untuk menempatkan nilai kemanusiaan sebagai kompas utama. Dalam konteks kebencanaan, kegiatan kemanusiaan organisasi kemasyarakatan patut diposisikan sebagai bagian integral dari sistem perlindungan sosial nasional, bukan sebagai anomali hukum.
Sebab pada akhirnya, hukum yang kehilangan rasa kemanusiaan hanyalah teks kosong. Dan keadilan yang sejati bukan sekadar tertulis di undang-undang, tetapi hidup dan bekerja nyata di tengah masyarakat.
