SUKABUMI – Alih fungsi perkebunan teh di daerah kaki Gunung Gede Pangrango di Sukabumi mendapat sorotan setelah peristiwa banjir di sepanjang Jalan Salabintana beberapa waktu. Masifnya alih fungsi kebun teh dinilai jadi biang kerok musibah tersebut.
Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Sukabumi termasuk salah satu pihak yang menyoroti hal ini. Ketua DPC SPI Sukabumi, Rozak Daud, menekankan pentingnya melihat masalah ini secara objektif dan tidak serta-merta menyalahkan petani kecil.
Kekhawatiran utama yang harus disikapi adalah aktor-aktor yang menguasai lahan dalam skala luas, baik untuk pertanian intensif maupun pembangunan tempat wisata. Menurut Rozak, tingkah pengusaha-pengusaha ini dapat mengancam ekosistem setempat.

“Setidaknya dalam tiga tahun terakhir muncul pengusaha tani yang menguasai lahan di atas satu hektare,” ujar Rozak kepada, Kamis (11/12/2025).
Pengusaha tani ini tidak hanya membuka lahan untuk tanaman hortikultura, tetapi juga mengembangkan kawasan wisata. Praktik pertanian mereka yang menggunakan mulsa plastik dikhawatirkan dapat mengurangi daya resap air tanah dan berpotensi merusak keseimbangan lingkungan kawasan Salabintana.
Baca Juga: Kecelakaan Motor Tabrak Truk di Depan RS Primaya Sukabumi: Suami Tewas, Istri Luka-luka
Rozak mengungkapkan bahwa penguasaan lahan dalam skala besar dimungkinkan oleh pola sewa lahan kepada PTPN. Pihak-pihak tertentu menguasai area yang luas dalam waktu yang relatif singkat.
“Ini perlu ditelusuri. Bagaimana bisa ada orang yang tiba-tiba menguasai lahan lebih dari satu hektare?” kata Rozak.
Ia juga menegaskan SPI mendorong adanya langkah-langkah konkret dari pihak-pihak terkait mengenai alih fungsi lahan ini. Ada pun langkah yang perlu diambil adalah penataan ulang kawasan, pengawasan yang lebih ketat, dan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola lahan di kawasan tersebut.
“Tujuannya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan melindungi mata pencaharian petani kecil yang selama ini hidup bergantung pada lahan di sekitar Pondok Halimun,” pungkas Rozak.

