Kesehatan

Analisis Hukum terhadap Tindak Kekerasan Seksual Oleh Dokter terhadap Pasien : Studi Kasus dr. PAP seorang dokter PPDS di RSHS

×

Analisis Hukum terhadap Tindak Kekerasan Seksual Oleh Dokter terhadap Pasien : Studi Kasus dr. PAP seorang dokter PPDS di RSHS

Sebarkan artikel ini

Ditulis Oleh : Dr. Padlilah, S.H., M.H. (Praktisi Hukum dan Dosen Universitas Nusa Putra Sukabumi).

ABSTRAK
Kekerasan seksual dalam dunia medis merupakan pelanggaran serius yang menyangkut aspek hukum, etika, dan profesionalisme. Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dr. PAP seorang Dokter PPDS di RSHS terhadap pasiennya mencerminkan penyalahgunaan relasi kuasa dalam hubungan terapeutik antara dokter dan pasien.

Artikel ini bertujuan untuk
menganalisis perbuatan tersebut dari perspektif hukum pidana, hukum perdata, dan etik profesi kedokteran. Pendekatan yang digunakan adalah normatif-yuridis dengan analisis terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), KUHP, dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

Hasil analisis menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut memenuhi unsur tindak pidana kekerasan seksual dan dapat dijatuhi sanksi pidana, perdata, serta sanksi etik dan admenganalisis

KATA KUNCI : kekerasan seksual, dokter, relasi kuasa, UU TPKS, etik kedokteran

PENDAHULUAN
Profesi kedokteran menuntut standar moral dan etika yang tinggi karena menyangkut nyawa dan kesejahteraan pasien. Dalam praktiknya, hubungan dokter dan pasien dibangun atas dasar kepercayaan dan profesionalisme.

Namun, kepercayaan ini bisa disalahgunakan ketika seorang
dokter melampaui batas profesional dan melakukan tindakan yang bersifat seksual terhadap pasiennya, seperti yang terjadi pada kasus dr. PAP seorang Dokter PPDS di RSHS.

Dugaan
tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap pasien menjadi sorotan publik karena mencederai nilai-nilai profesi dan melanggar hukum positif di Indonesia.

Kejadian ini bukan sekadar pelanggaran moral, namun juga merupakan tindak pidana serius
yang perlu dianalisis secara komprehensif dari sudut hukum, khususnya dalam konteks perlindungan korban dan penegakan keadilan. Dalam jurnal ini, penulis akan menganalisisaspek pidana, perdata, dan etik profesi terhadap kasus kekerasan seksual oleh dokter terhadap pasien.

METODOLOGI

Metode yang digunakan adalah pendekatan normatif-yuridis, yaitu dengan menelaah norma hukum yang berlaku terkait kekerasan seksual dalam konteks relasi dokter dan pasien. Sumber
data diperoleh melalui studi literatur terhadap peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, dan jurnal hukum relevan.

PEMBAHASAN

1. Aspek Hukum Pidana
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasien merupakan bentuk pelanggaran hukum pidana. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (UU TPKS), telah disebutkan bahwa kekerasan seksual meliputi berbagai bentuk perilaku yang bersifat seksual, dilakukan dengan paksaan, ancaman, atau manipulasi
terhadap korban.

PASAL 5 UU TPKS MENYATAKAN :

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual non-
fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan
seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.”

Jika tindakan dokter tersebut berupa perabaan atau tindakan tidak pantas lain kepada organ seksual pasien tanpa persetujuan atau di luar keperluan medis, maka hal ini
termasuk pelecehan seksual fisik dan penyalahgunaan kekuasaan.
Lebih lanjut, Pasal 15 UU TPKS menyebutkan bahwa dalam hal pelaku adalah tenaga
kesehatan atau orang yang memiliki kedudukan atau relasi kuasa atas korban, maka sanksi
pidana dapat diperberat.

Sanksi yang dapat dijatuhkan mencakup:

• Hukuman penjara maksimal 12 tahun;
• Denda maksimal Rp300 juta;
• Restitusi kepada korban;
• Pengumuman identitas pelaku;
• Pencabutan hak profesi.
Dalam konteks KUHP, tindakan ini juga dapat dijerat dengan:
• Pasal 289 KUHP (perbuatan cabul dengan kekerasan atau ancaman kekerasan);
• Pasal 290 KUHP (perbuatan cabul terhadap orang dalam keadaan tidak berdaya);
• Pasal 294 KUHP (perbuatan cabul oleh seseorang yang mempunyai kekuasaan atau
pengawasan atas korban).

Dalam kasus dr. PAP seorang Dokter PPDS di RSHS, jika korban berada dalam keadaan dibius
atau tidak sadarkan diri, maka ketentuan Pasal 290 sangat relevan, karena pelaku melakukan
tindakan cabul terhadap orang yang tidak mampu memberikan persetujuan.

2. Aspek Etik dan Disiplin Profesi Kedokteran

Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) mewajibkan dokter untuk menjaga martabat dan
integritas profesi. Pasal 2 Kodeki menyatakan bahwa:

“Dokter wajib senantiasa menjalankan profesinya dengan kejujuran dan integritas tinggi.”

Kekerasan seksual terhadap pasien merupakan pelanggaran berat terhadap etika profesi. Selain
menyalahi sumpah dokter, tindakan tersebut mengancam keselamatan pasien dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi kesehatan.
Dalam hal ini, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) berwenang menjatuhkan sanksi, seperti:

• Teguran tertulis;
• Penangguhan sementara izin ;
• Pencabutan izin praktik secara permanen.

3. Aspek Hukum Perdata
Secara perdata, korban berhak menuntut ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Kerugian dalam kasus kekerasan seksual bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis, sosial, dan ekonomi. Pengadilan dapat memerintahkan pelaku membayar kompensasi finansial atas trauma dan dampak jangka panjang yang diderita korban.

4. Relasi Kuasa dalam Hubungan Dokter-Pasien
Hubungan antara dokter dan pasien bukan hubungan yang setara. Dokter memiliki posisi
dominan karena memiliki pengetahuan, otoritas medis, serta akses terhadap tubuh pasien.

Relasi kuasa ini memperkuat potensi penyalahgunaan, terutama ketika pasien dalam keadaan lemah atau tidak sadar.

UU TPKS secara eksplisit menempatkan kekerasan seksual berbasis relasi kuasa sebagai
bentuk kejahatan yang perlu ditangani secara serius dan diberi pemberatan hukuman.

Kesimpulan

Tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien, seperti dalam kasus dr.
PAP seorang Dokter PPDS di RSHS, merupakan pelanggaran berat yang melibatkan aspek hukum pidana, hukum perdata, dan etika profesi. Perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana dalam UU TPKS dan KUHP, serta dapat dikenai sanksi etik dan administratif oleh lembaga
profesi kedokteran.

Perlu ada komitmen kuat dari aparat penegak hukum, institusi medis, dan masyarakat untuk memberikan perlindungan maksimal kepada korban serta memastikan pelaku mendapatkan hukuman setimpal.
Reformasi sistem pengawasan terhadap tenaga kesehatan juga mendesak untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Daftar Pustaka

1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
4. Kode Etik Kedokteran Indonesia
5. Putusan MKDKI dan kajian akademik terkait etik kedokteran.