SUKABUMI – Bencana alam kerap menjadi perbincangan hangat, terutama ketika curah hujan ekstrem, banjir bandang, atau longsor kembali melanda berbagai daerah di Indonesia. Namun, di balik istilah bencana alam, sebagian tokoh agama mengingatkan bahwa alam bukan sekadar objek fisik, melainkan tanda alamah yang kehadirannya dapat memberi pelajaran bagi manusia.
Dalam sebuah kajian, dijelaskan bahwa kata alam berasal dari akar kata alima yang berarti tanda yang membuat kita tahu. Maka alam, dalam pandangan spiritual, adalah rangkaian tanda yang menunjukkan keberadaan dan kekuasaan Sang Pencipta. Kita pun menyebut-Nya Rabbul ‘Alamin Tuhan semesta alam yang merawat, menguasai, dan menghadirkan berbagai tanda dalam kehidupan manusia.
Ketika bencana terjadi, menurut pandangan tersebut, bukan semata-mata alam yang “mengamuk”, tetapi ada isyarat yang sedang disampaikan. Bukan berarti menyalahkan hujan, angin, atau gempa, melainkan membaca apa yang bisa dipelajari dari kejadian itu. Dalam tradisi keilmuan Islam, ada konsep jalal membaca tanda-tanda keagungan Allah dari hal-hal besar, termasuk musibah yang tampak.
Baca Juga : SEA Games 2025: Jadwal Laga Vietnam vs Malaysia yang Tentukan Peluang Indonesia
Bencana sebagai Pengingat untuk Belajar
Sejumlah wilayah di Indonesia telah berulang kali mengalami bencana serupa. Bahkan catatan sejarah menunjukkan kejadian banjir bandang yang terjadi lebih dari dua dekade lalu kini kembali berulang. Pesannya jelas: ada evaluasi yang belum tuntas. Jika tanda-tanda itu hadir kembali, manusia dituntut untuk belajar, memperbaiki diri, dan menata lingkungan agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama.
Dalam konteks modern, pembacaan tanda ini dapat disejajarkan dengan urgensi mitigasi dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Kerusakan hutan, alih fungsi lahan, lemahnya tata ruang, hingga kepedulian yang minim terhadap ekosistem adalah faktor yang turut memperparah dampak bencana. Alam memberi sinyal sejak lama dan manusia ditantang untuk memahaminya.
Dari Kiamat Kecil hingga Kiamat Besar
Ulama tersebut juga menyinggung perbedaan antara kiamat kecil dan kiamat besar. Kiamat kecil, yang dalam pemahaman sederhana berarti kematian, dapat terjadi kapan saja dan merupakan peringatan personal bagi setiap manusia. Sementara kiamat besar memiliki tanda-tanda yang telah dijelaskan dalam teks-teks keagamaan, salah satunya digambarkan melalui ayat–ayat awal Surat At-Takwir, di mana matahari digulung (asy-syamsu kuwwirat).
Meski ayat tersebut berbicara tentang akhir zaman secara kosmologis, ia sekaligus menjadi pengingat bahwa kehidupan di dunia bersifat sementara dan penuh tanda. Bencana alam yang datang silih berganti bukan sekadar peristiwa fisik, tetapi momentum bagi manusia untuk menata hati, memperbaiki perilaku, dan memperkuat hubungan dengan Tuhan serta alam semesta.
Menjadikan Tanda sebagai Hikmah
Pendekatan spiritual terhadap bencana bukan berarti menafikan sains. Justru keduanya dapat berjalan beriringan: sains memberi analisis penyebab, agama memberi makna dan hikmah. Pada titik itulah manusia bisa lebih bijaksana dalam bersikap—tidak panik, tidak menyalahkan alam, tetapi membangun kesadaran untuk berubah.
Alam adalah tanda, dan tanda itu selalu datang membawa pesan. Bencana yang terjadi hari ini dapat menjadi pengingat untuk lebih disiplin menjaga lingkungan, memperkuat mitigasi, serta memperbaiki diri. Sebab, sebagaimana pesan dalam kajian tersebut: jika tanda yang sama berulang, berarti ada pelajaran yang belum tuntas dipahami.(SE)

