SUKABUMI – Nama Mardi Lestari mungkin terdengar asing bagi generasi muda penggemar olahraga saat ini. Namun, di era 1980-an hingga awal 1990-an, ia adalah fenomena, kebanggaan Indonesia, dan bahkan Asia.
Ia adalah “Manusia Tercepat Asia,” pemegang rekor yang sulit dipecahkan, sosok yang digadang-gadang akan membawa nama bangsa berkibar di kancah Olimpiade.
Kini, jauh dari sorotan lampu stadion dan gemuruh tepuk tangan, Mardi Lestari harus berjuang keras hanya untuk bertahan hidup, terpaksa menjual aset-asetnya, bahkan mengontrakkan rumah demi menyambung asa.
Baca Juga : Sosok Yoshua Tanu, Pemilik Jago Coffee yang Usung Konsep Kopi Keliling
Mardi Lestari adalah pelari sprint yang dominan. Ia mendominasi nomor 100 meter dan 200 meter di tingkat regional.
Puncaknya adalah ketika ia meraih medali emas di ajang Asian Games, menorehkan namanya dalam sejarah sebagai sprinter tercepat di benua kuning.
Masyarakat mengenalnya, wajahnya terpampang di mana-mana, dan ia menjadi inspirasi bagi banyak anak muda. Masa depan seolah terbentang luas di hadapannya, penuh janji dan kemewahan yang diimpikan banyak atlet.
Baca Juga : Resign Kerja di Bank, Arif Eko Nugroho Warga Blitar Pilih Jadi Peternakan Sapi
Namun, seperti halnya kehidupan, takdir bisa berputar 180 derajat. Cedera, yang merupakan musuh utama setiap atlet, mulai menggerogoti performanya.
Perlahan namun pasti, kecepatan yang menjadi ciri khasnya memudar. Era keemasannya pun berakhir, dan ia harus menerima kenyataan pahit bahwa karier atletiknya tak bisa lagi dilanjutkan.
Pasca-pensiun, transisi hidup bagi banyak atlet seringkali menjadi tantangan berat. Euforia dan gemerlap prestasi tiba-tiba meredup, digantikan oleh realitas hidup yang keras.
Baca Juga : Bernasib Pilu Artis Cantik Revi Mariska Ini Jadi Penjual Es Dipinggir Jalan
Mardi Lestari pun mengalami hal serupa. Tanpa bekal pendidikan formal yang memadai atau keahlian lain di luar lintasan lari, ia kesulitan mencari pekerjaan yang stabil.
Upaya untuk beradaptasi dengan kehidupan “normal” jauh lebih sulit daripada memecahkan rekor dunia. Kondisi ekonomi kian memburuk. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, satu per satu aset yang dulunya ia miliki dari hasil jerih payah di lintasan, terpaksa dilego.
Medali dan piagam penghargaan, yang seharusnya menjadi simbol kebanggaan, kini hanya tersimpan sebagai kenangan. Bahkan, rumah yang ia miliki, satu-satunya tempat berlindung, terpaksa dikontrakkan agar bisa mendapatkan pemasukan.
Mardi Lestari dan keluarganya kini harus tinggal di tempat yang lebih sederhana, jauh dari kenyamanan yang dulu pernah ia rasakan.
Kisah Mardi Lestari adalah pengingat pahit tentang minimnya jaring pengaman sosial dan ekonomi, bagi para pahlawan olahraga di Indonesia.
Setelah puncak kejayaan, banyak atlet yang terlupakan, dibiarkan berjuang sendirian di tengah kerasnya hidup.
Padahal, mereka telah mengharumkan nama bangsa, mengibarkan bendera Merah Putih di kancah internasional, dan membangkitkan rasa nasionalisme jutaan rakyat.
Semoga kisah Mardi Lestari ini menjadi panggilan bagi pemerintah, federasi olahraga, dan seluruh elemen masyarakat untuk lebih peduli terhadap kesejahteraan para mantan atlet.(Sei)