Penulis: Ahmad Yazdi, S.H., M.H. / Ketua Umum Aliansi Pemantau Program Badan Gizi Nasional (APPBGN)
Badan Gizi Nasional (BGN) merupakan perahu mimpi Presiden Prabowo Subianto untuk memberi makan anak-anak Indonesia. Anggaran APBN yang bersifat floating telah disahkan DPR, dengan angka fantastis yang digulirkan demi sebuah cita-cita besar bangsa. Demi mimpi dan senyum anak-anak di pelosok negeri yang menanti makan bergizi gratis, skema kemitraan dengan melibatkan unsur lokal dan pelaku wiraswasta menjadi jalan yang dipilih BGN untuk mengorkestrasi mimpi Presiden agar target 82,9 juta penerima manfaat dapat terlayani di seluruh Indonesia.
BGN berpacu dengan mimpi besar tersebut. Namun, sekelumit persoalan serius dihadapi oleh badan baru yang masih dalam tahap awal pelayaran ini. Banyak harapan dan cita-cita tertanam agar BGN tidak menorehkan rekam jejak kelam seperti yang pernah terjadi di kementerian atau lembaga lain yang terjerat praktik KKN. Akan tetapi, jika mencermati Surat Keputusan tentang petunjuk teknis pelaksanaan dapur mandiri yang berkali-kali direvisi, hal ini menunjukkan bahwa BGN belum sepenuhnya siap melaksanakan Program Makan Bergizi Gratis.
Isu keracunan makanan menjadi tamparan keras bagi BGN di tahun 2025. Ditambah lagi berbagai persoalan lain, mulai dari dugaan jual beli titik dapur, kebijakan rollback yang ditransaksikan, disinformasi yang diterima mitra, hingga drama air mata saat anak-anak mengalami keracunan, bahkan insiden anak terlindas kendaraan. Semua itu menambah catatan kelam perjalanan Badan Gizi Nasional sepanjang 2025.
Di kalangan elite, perang dingin antarpetinggi BGN tak tampak di permukaan. Ia ibarat api dalam sekam—menunggu angin kecil untuk membakar mimpi besar bangsa ini. Peperangan ini memang tak kasatmata, tetapi aroma pertikaiannya tercium dan menggelitik bagi kami, para pemerhati Program Badan Gizi Nasional.
Saya teringat kisah-kisah peperangan dalam sejarah, dari Yunani Kuno, Bharatayudha, hingga perjalanan revolusi dan reformasi di negeri ini. Bangsa-bangsa besar kerap terpecah bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan karena eskalasi kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara sesama kolega yang terus memanas.
BGN membutuhkan satu vitamin moral agar layak disebut sebagai perahu mimpi Presiden. Tidak cukup hanya dengan dukungan anggaran, tetapi juga arah perjuangan yang jelas—bukan semata mengejar angka penerima manfaat dan serapan anggaran. BGN membutuhkan keharmonisan, kekompakan, serta kemampuan meniadakan ego sektoral. Jika Presiden Prabowo dapat memberi teladan kedewasaan dalam berpolitik, seharusnya para petinggi BGN pun mampu saling mengisi ruang-ruang kosong demi tujuan bersama.
Wajah BGN hari ini adalah cerminan wajah para petingginya.
Banyak hal yang ingin saya tuliskan dalam refleksi akhir tahun ini. Namun, izinkan saya mengingatkan kita semua yang bekerja dan terlibat dalam menyukseskan BGN untuk selalu mengingat satu hal: bahwa kita bekerja di antara kalimat Bismillah dan Alhamdulillah para penerima manfaat. Kita bekerja di antara doa-doa anak bangsa yang mengawali santapan makan bergizi gratis, dan di antara harapan anak-anak yang hingga kini belum tersentuh program ini.
Di akhir pena, saya mengucapkan selamat Tahun Baru. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa memberikan kita kesehatan dan kesadaran dalam mengambil setiap langkah serta kebijakan.
Wassalam.
