Berita Sukabumi

Wakaf Uang Sukabumi di Tengah Polemik, Penggiat Wakaf Ingatkan Jangan Jadi Arena Rivalitas Politik

×

Wakaf Uang Sukabumi di Tengah Polemik, Penggiat Wakaf Ingatkan Jangan Jadi Arena Rivalitas Politik

Sebarkan artikel ini

SUKABUMI — Perbincangan publik mengenai wakaf uang di Kota Sukabumi kian mengemuka. Isu ini ramai dibicarakan di media sosial hingga portal berita setelah DPRD Kota Sukabumi membentuk Panitia Kerja (Panja) Wakaf yang berujung pada rekomendasi resmi. Namun, polemik tersebut dinilai seharusnya menjadi ruang edukasi kebijakan publik, bukan ajang pelampiasan kekecewaan politik pascakontestasi Pilkada.

Penggiat wakaf nasional, Herri Setiawan, menegaskan bahwa diskursus wakaf uang perlu diluruskan agar tetap berpijak pada substansi, yakni bagaimana wakaf dikelola secara profesional, akuntabel, dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

“Wakaf uang bukan isu politik lokal semata. Ini adalah agenda strategis nasional yang harus dipahami secara utuh, objektif, dan berlandaskan hukum,” tegas Herri.

Ia menjelaskan bahwa wakaf, termasuk wakaf uang, telah menjadi bagian penting dalam Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebagai instrumen penguatan dana sosial produktif untuk pembangunan berkelanjutan. Komitmen tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025–2029.

Tak hanya itu, potensi wakaf uang di Indonesia juga sangat besar. Berdasarkan data Badan Wakaf Indonesia (BWI), potensi wakaf uang mencapai Rp181 triliun per tahun. Wakaf pun telah memiliki landasan hukum kuat melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.

Dalam perspektif hukum tata negara, Herri menekankan pentingnya memahami asas lex superior derogat legi inferiori, di mana peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Artinya, kebijakan daerah maupun rekomendasi legislatif semestinya sejalan dan tidak bertentangan dengan regulasi nasional yang telah mengatur wakaf secara komprehensif.

“Pengawasan DPRD tentu sah dan konstitusional. Namun harus dijalankan secara objektif, proporsional, dan bebas dari muatan politis. Sudahi rivalitas elektoral. Energi politik harus diarahkan untuk memastikan kebijakan berjalan baik, bukan justru menghambat program yang telah selaras dengan RPJMD dan agenda nasional,” ujarnya.

Terkait rekomendasi pembatalan kerja sama pemerintah daerah dengan salah satu nazhir karena dugaan konflik kepentingan, Herri mengingatkan bahwa sistem perwakafan memiliki aturan kelembagaan yang sangat ketat. Prinsip transparansi, amanah, dan akuntabilitas merupakan kewajiban hukum bagi nazhir.

“Harta benda wakaf, termasuk wakaf uang, bukan milik pemerintah ataupun yayasan. Itu adalah milik Allah yang dikelola oleh nazhir untuk kemaslahatan umat. Tidak bisa ditumpangi kepentingan pribadi atau kelompok,” tegasnya.

Ia juga menyoroti potensi ambiguitas kebijakan apabila rekomendasi DPRD di satu sisi meminta pembatalan kerja sama dengan nazhir tertentu, namun di sisi lain membuka peluang bagi nazhir lain. Jika tidak dikelola hati-hati, hal ini dapat memicu diskriminasi.

“Seharusnya DPRD mendorong partisipasi nazhir lain secara konstruktif. Jika belum memenuhi syarat, pendekatannya adalah fasilitasi, peningkatan kapasitas, dan penguatan SDM, bukan mematikan kerja sama yang telah berjalan sesuai regulasi,” jelasnya.

Hal serupa berlaku pada rekomendasi pengalihan dana wakaf kepada BWI Perwakilan Kota Sukabumi. Menurut Herri, wakif menyalurkan wakaf berdasarkan kepercayaan dan ketentuan hukum.

Pengalihan harta wakaf tidak dapat dilakukan secara sepihak tanpa kajian, persetujuan BWI, serta penetapan Kementerian Agama.

Karena itu, ia menegaskan agar rekomendasi DPRD disusun secara komprehensif, menjunjung prinsip hukum, serta etika politik. Jangan sampai masyarakat, khususnya para penerima manfaat wakaf produktif, menjadi korban tarik-menarik kepentingan elite.

“Wakaf uang bukan pungutan liar. Ia memiliki dasar hukum yang kuat, mekanisme yang ketat, dapat diaudit, dan merupakan bagian dari strategi pembangunan nasional. Polemik ini harus menjadi momentum kedewasaan berdemokrasi demi kemaslahatan umat dan keadilan sosial bagi semua, baik muslim maupun non-muslim,” pungkasnya.