Oleh: Dr. Padlilah, S.H., M.H. (Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Putra)
Kejadian longsor dan banjir di Kabupaten Sukabumi kembali menyisakan duka dan kerugian yang mendalam bagi masyarakat. Di balik faktor alam seperti topografi perbukitan dan curah hujan tinggi, terdapat faktor manusia yang memperparah bencana ini. Aktivitas korporasi di sektor sumber daya alam serta peran pemerintah dalam pengawasan dan kebijakan menjadi dua sisi koin yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Pertanyaannya, di mana letak pertanggungjawaban hukum, baik perdata maupun pidana, dari korporasi dan pemerintah dalam tragedi ini?
Pertama, dari sisi korporasi. Dalam hukum perdata, korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum. Jika dapat dibuktikan bahwa aktivitas perusahaan—seperti pembukaan lahan tanpa izin, pengabaian AMDAL, atau eksploitasi berlebihan—menyebabkan kerusakan lingkungan yang memicu longsor atau banjir, maka mereka wajib membayar ganti rugi dan memulihkan lingkungan.
Baca Juga: Akses Jalan Bagbagan Kiaradua Dibuka Terbatas, Truk Besar Belum Bisa Melintas
Lebih tegas lagi, korporasi juga bisa dijerat hukum pidana melalui Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 116 UU tersebut menyatakan bahwa badan usaha dapat dituntut pidana jika melakukan perusakan lingkungan secara sengaja atau lalai yang berakibat bencana. Sanksinya bisa berupa denda besar, pencabutan izin, hingga pembubaran perusahaan.
Kedua, pertanggungjawaban pemerintah. Negara tidak bisa lepas tangan. Pemerintah daerah, yang memiliki kewenangan dalam perizinan, tata ruang, dan pengawasan, dapat dimintai pertanggungjawaban perdata jika terbukti lalai.
Misalnya, memberikan izin yang bertentangan dengan rencana tata ruang atau mengawasi dengan lemah aktivitas korporasi yang merusak. Masyarakat yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi melalui gugatan perdata atau citizen lawsuit.
Dalam ranah pidana, pejabat pemerintah dapat dijerat hukum jika kelalaian atau penyalahgunaan kewenangannya menyebabkan kerusakan lingkungan dan korban jiwa. Kelalaian berat yang berujung bencana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, terutama jika ada unsur kesengajaan atau pembiaran.
Baca Juga: Akses Jalan Bagbagan–Kiaradua Mulai Dibuka untuk Kendaraan Roda Empat
Masyarakat korban bencana tidak boleh diam. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dijamin oleh UUD 1945. Mereka dapat memperjuangkan keadilan melalui berbagai jalur: gugatan perdata perorangan, gugatan kelompok (class action), atau pengaduan kepada aparat penegak hukum terkait kinerja pemerintah.
Kesimpulannya, bencana longsor dan banjir di Sukabumi bukan sekadar takdir alam. Ada elemen kesalahan dan kelalaian manusia, baik yang dilakukan korporasi maupun pemerintah, yang turut menyuburkan tragedi ini. Penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan mutlak diperlukan.
Tidak hanya untuk memulihkan kerugian, tetapi juga untuk menciptakan efek jera dan memastikan bencana serupa tidak terulang di masa depan. Saatnya korporasi dan pemerintah bertanggung jawab penuh, bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam aksi nyata untuk perlindungan masyarakat dan lingkungan.

