Sejarah

Menilik Kampung Kranggan Bekasi, Desa Adat yang Abadi Sejak Abad 15 Masehi

×

Menilik Kampung Kranggan Bekasi, Desa Adat yang Abadi Sejak Abad 15 Masehi

Sebarkan artikel ini
Kampung Kranggan: Jejak Adat Sunda Abad ke-15 di Tengah Kota Bekasi
Foto Kampung Kranggan: Jejak Adat Sunda Abad ke-15 di Tengah Kota Bekasi / Ist

SUKABUMI – Di tengah hiruk pikuk pembangunan Kota Bekasi yang pesat, tersembunyi sebuah permata budaya, yaitu Kampung Adat Kranggan.

Desa adat ini bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sebuah komunitas yang masih aktif melestarikan tradisi serta kearifan lokal leluhurnya.

Kampung Kranggan, yang kini terletak di Kelurahan Jatirangga, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, memiliki sejarah panjang yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15 atau ke-16 Masehi.

Baca Juga : Ancaman PHK Massal di Sukabumi! SP TSK SPSI Minta Pemerintah Selamatkan Industri Padat Karya Akibat Tarif Trump

Berdasarkan cerita turun temurun, kampung ini didirikan oleh Syaipin atau Olot Ipin, leluhur mereka yang berasal dari Desa Kranggan di Gunung Putri, Bogor.

Ada pula versi yang menyebutkan bahwa nama Kranggan berasal dari kata “Keranggaan” yang berarti tempat tinggal seorang Ronggo, atau dari nama tokoh Pangeran Rengga/Rangga yang makamnya berada di sana.

Yang menarik, leluhur warga Kampung Kranggan diyakini memiliki garis keturunan dengan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran dari tanah Sunda.

Baca Juga :Hari Keempat Libur Lebaran, Wisata Pantai Minajaya Sukabumi Semakin Dipadati Pengunjung

Mereka adalah sebagian penduduk asli Jakarta yang leluhurnya tersingkir ke pedalaman, akibat penyerbuan Fatahillah ke Pelabuhan Kalapa.

Tak heran jika budaya dan tradisi Sunda masih sangat kental terasa di sini, bahkan sampai saat ini, pemimpin adat Kampung Kranggan yang disebut Olot merupakan keturunan kesembilan dari pendiri desa.

Masyarakat Kampung Kranggan memegang teguh pedoman hidup “Nutur galur mapai asal”, yang berarti menjaga kelestarian budaya leluhur.

Baca Juga : Jejak Kampung Adat di Kabandungan Sukabumi: Warisan Sunda di Kaki Gunung Halimun Salak

Keseharian mereka masih sangat lekat dengan kebudayaan Kerajaan Pajajaran. Berbagai tradisi dan ritual adat terus dijalankan secara turun-temurun, di antaranya Babaritan atau sedekah bumi.

Babaritan merupakan upacara syukuran dan penghormatan kepada leluhur, langit, bumi, serta Sang Pencipta atas berkah dan hasil bumi yang melimpah.

Prosesi ini sarat nuansa Sunda, dari sesajian, tata upacara, hingga doa yang dilantunkan. Upacara ini juga dipercaya sebagai ritual tolak bala atau menghilangkan kesusahan.

Selain itu, ada juga tradisi Pawai Budaya Ngarak Go’ong. Tradisi ini mencerminkan kekayaan budaya Kranggan dan menjadi momen kebersamaan masyarakat.

Kampung Adat Kranggan memiliki sejumlah keunikan yang menjadikannya daya tarik tersendiri, yaitu beberapa rumah adat masih berdiri kokoh dan terawat hingga kini.

Rumah-rumah ini dibangun dengan arsitektur khas menggunakan kayu pohon nangka dan atap rumbia, serta telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Terdapat tiga tipe rumah adat: anjing tagog, jolopong atau simpai, dan perahu tengkurep atau limas.

Rumah adat ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai ruang hidup yang menyatukan keluarga, tetangga, dan tradisi, dengan pendopo atau teras luas (Paseban) sebagai tempat berkumpul dan menerima tamu.

Pakaian adat khas Kampung Kranggan adalah Baju Cele, yang memiliki motif kotak-kotak kecil berwarna hitam dan putih. Warna putih melambangkan kesucian, sedangkan hitam melambangkan kedewasaan.(Sei)