Nasional

Pakar Hukum Ungkap Risiko Terancamnya Independensi KPK dengan Terpilihnya Pimpinan dan Dewas Baru

×

Pakar Hukum Ungkap Risiko Terancamnya Independensi KPK dengan Terpilihnya Pimpinan dan Dewas Baru

Sebarkan artikel ini

SUKABUMIKU.id – Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berisiko terganggu setelah terpilihnya formasi baru pimpinan dan anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2024-2029. Menurut Abdul, mayoritas calon pimpinan KPK dan Dewas yang terpilih memiliki latar belakang sebagai aparat penegak hukum dari institusi lain, seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, yang berpotensi mereduksi objektivitas lembaga antirasuah tersebut.

“Para personil komisioner terpilih justru berasal dari latar belakang aparat penegak hukum pemerintahan, yang menjadi salah satu alasan lahirnya KPK. Artinya, ini menunjukkan lemahnya independensi dan objektivitas aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi,” ujar Abdul dalam perbincangan melalui aplikasi pesan pada Jumat, 22 November 2024.

Abdul menyatakan bahwa terbentuknya KPK pada tahun 2002, melalui UU 30/2002, merupakan respons terhadap lemahnya penegakan hukum di institusi seperti kepolisian dan kejaksaan, yang menjadi dasar pembentukan lembaga independen tersebut. Namun, dengan terpilihnya pimpinan KPK yang mayoritas berasal dari institusi yang sama, hal ini mengindikasikan potensi hilangnya independensi lembaga tersebut.

Pimpinan KPK dan Dewas yang Baru Terpilih

Dalam proses seleksi yang dilakukan oleh Komisi III DPR, beberapa nama terpilih untuk memimpin KPK dan Dewas periode mendatang. Komjen Pol Setyo Budiyanto terpilih sebagai Ketua KPK 2024-2029, bersama beberapa calon pimpinan lainnya, seperti Johanis Tanak (jaksa), Agus Joko Pramono (eks Wakil Ketua BPK), Fitroh Rohcahyanto (jaksa), dan Ibnu Basuki Widodo (hakim).

Sementara itu, untuk Dewas KPK, Komisi III DPR memilih lima anggota, yaitu Chisca Mirawati (pengacara), Benny Mamoto (pensiunan jenderal Polri), Wisnu Baroto (jaksa), Sumpeno (hakim), dan Gusrizal (Ketua Pengadilan Tinggi Samarinda). Menurut Abdul, komposisi pimpinan dan Dewas yang mayoritas berasal dari aparat penegak hukum ini menunjukkan adanya ketergantungan pada kekuasaan eksekutif.

KPK: Dari Lembaga Independen Menjadi Bagian dari Eksekutif

Abdul menambahkan bahwa setelah revisi UU KPK pada 2019, lembaga ini kini masuk ke dalam rumpun eksekutif, dengan pegawai KPK yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini semakin mengukuhkan anggapan bahwa KPK kini menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif, bukannya lembaga yang independen dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

“Setelah revisi UU KPK, KPK menjadi lembaga bagian dari kekuasaan, karena diisi oleh personil yang juga berasal dari kekuasaan eksekutif,” kata Abdul.

Potensi Pelemahan KPK

Abdul juga menilai bahwa hasil pemilihan ini dapat menimbulkan prasangka bahwa DPR sengaja melemahkan KPK. “Dengan hasil pilihan ini, Komisi III telah membuat KPK menjadi limbung, yang bisa dianggap sebagai upaya pelemahan lembaga antirasuah,” ujar Abdul. Ia mengimbau masyarakat untuk tetap mengawasi perkembangan KPK, khususnya dengan menjaga agar lembaga tersebut tetap menjalankan tugasnya dengan objektivitas dan independensi.

Masyarakat Diminta Mengawal KPK

Masyarakat, menurut Abdul, harus terus mengawal KPK dan tidak ragu untuk menggunakan jalur hukum jika diperlukan, seperti mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) untuk membatalkan hasil pemilihan pimpinan dan Dewas KPK yang baru. “Ini tidak mustahil bisa menjadi bagian dari pengawalan terhadap eksekutif,” ujarnya.

Menanggapi kritik ini, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menanggapi bahwa proses pemilihan pimpinan dan Dewas KPK dilakukan secara demokratis, dengan keterlibatan publik melalui uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Ia juga menjelaskan bahwa perolehan suara para calon sangat bervariasi, yang menunjukkan tidak adanya pengondisian dalam pemilihan tersebut.

“Saya berpendapat sebaliknya, publik bisa melihat sendiri bahwa proses pemilihan capim dan cadewas berlangsung sangat demokratis,” ujar Habib.

Meskipun demikian, polemik terkait independensi KPK ini diperkirakan akan terus berkembang, dan menjadi perhatian bagi masyarakat serta pihak-pihak yang konsen dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.