SUKABUMIKU.id – Lebih dari 5.000 dokter spesialis anak yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan keberatan atas kebijakan pajak yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI Nomor 168 Tahun 2023. Mereka menilai, regulasi ini memberatkan, terutama bagi dokter yang melayani pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ketua Umum IDAI, dr. Piprim Basarah Yanuarso, dalam surat keberatan yang ditandatangani pada Senin (17/2/2025), menjelaskan bahwa pajak penghasilan dokter dikenakan berdasarkan penghasilan bruto, sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit dan biaya operasional. Padahal, dokter hanya menerima sebagian dari tarif jasa medis karena harus berbagi dengan pihak rumah sakit.
“Ini berarti dokter membayar pajak atas (pendapatan) yang tidak mereka terima,” tegas dr. Piprim.
Selain itu, pemotongan pajak berdasarkan penghasilan bruto juga berdampak pada dokter yang memiliki penghasilan dari berbagai sumber lain, seperti seminar, pelatihan, dan jasa konsultasi. Mereka terbebani pajak progresif yang lebih tinggi, yang berpotensi menambah beban pajak hingga 30% dari pendapatan riil.
IDAI khawatir kebijakan ini akan menurunkan minat dokter untuk melayani pasien JKN. Pasalnya, sebagian besar dokter anak di rumah sakit melayani pasien JKN dengan tarif standar yang ditetapkan pemerintah. Jika pajak tetap dikenakan atas penghasilan bruto, beban pajak akan semakin tinggi dan mengurangi pendapatan bersih dokter.
IDAI menilai, kebijakan ini seolah-olah menempatkan dokter sebagai wajib pajak perusahaan, di mana pajak dikenakan atas omzet atau penghasilan bruto, bukan laba bersih.
Sebagai bentuk protes, IDAI menyerukan penundaan pelaporan pajak 2024 sampai ada keputusan yang lebih adil dari Kementerian Keuangan.
“Kami mengajak Kementerian Keuangan untuk berdialog bersama perwakilan IDAI agar kebijakan ini dapat dikaji ulang dengan mempertimbangkan prinsip keadilan bagi dokter yang melayani masyarakat, khususnya pasien JKN,” pungkas dr. Piprim.
Untuk memastikan akurasi dan kelengkapan informasi, berikut adalah beberapa pertanyaan yang mungkin perlu ditelusuri lebih lanjut:
Terima kasih atas informasinya. Berikut adalah berita yang telah diperbarui dengan tambahan informasi dari hasil pencarian:
**Ribuan Dokter Spesialis Anak Keberatan dengan Kebijakan Pajak Baru, Ancam Kurangi Layanan JKN**
**Jakarta, 18 Maret 2025** – Lebih dari 5.000 dokter spesialis anak yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan keberatan atas kebijakan pajak yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI Nomor 168 Tahun 2023. Mereka menilai, regulasi ini memberatkan, terutama bagi dokter yang melayani pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ketua Umum IDAI, dr. Piprim Basarah Yanuarso, dalam surat keberatan yang ditandatangani pada Senin (17/2/2025), menjelaskan bahwa pajak penghasilan (PPh) dokter dikenakan berdasarkan penghasilan bruto, sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit dan biaya operasional. Padahal, dokter hanya menerima sebagian dari tarif jasa medis karena harus berbagi dengan pihak rumah sakit.
“Ini berarti dokter membayar pajak atas (pendapatan) yang tidak mereka terima,” tegas dr. Piprim.
PMK No. 168 Tahun 2023 mengatur tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi. PPh Pasal 21 untuk bukan pegawai dihitung dengan mengalikan tarif Pasal 17 UU PPh dengan 50% dari penghasilan bruto yang diterima dalam satu masa pajak.
Selain itu, pemotongan pajak berdasarkan penghasilan bruto juga berdampak pada dokter yang memiliki penghasilan dari berbagai sumber lain, seperti seminar, pelatihan, dan jasa konsultasi. Mereka terbebani pajak progresif yang lebih tinggi, yang berpotensi menambah beban pajak hingga 30% dari pendapatan riil.
IDAI khawatir kebijakan ini akan menurunkan minat dokter untuk melayani pasien JKN. Pasalnya, sebagian besar dokter anak di rumah sakit melayani pasien JKN dengan tarif standar yang ditetapkan pemerintah. Jika pajak tetap dikenakan atas penghasilan bruto, beban pajak akan semakin tinggi dan mengurangi pendapatan bersih dokter.
IDAI menilai, kebijakan ini seolah-olah menempatkan dokter sebagai wajib pajak perusahaan, di mana pajak dikenakan atas omzet atau penghasilan bruto, bukan laba bersih.
Sebagai bentuk protes, IDAI menyerukan penundaan pelaporan pajak 2024 sampai ada keputusan yang lebih adil dari Kementerian Keuangan.
“Kami mengajak Kementerian Keuangan untuk berdialog bersama perwakilan IDAI agar kebijakan ini dapat dikaji ulang dengan mempertimbangkan prinsip keadilan bagi dokter yang melayani masyarakat, khususnya pasien JKN,” pungkas dr. Piprim.
(mrf/*)