SUKABUMI – Gelombang kritik datang dari kalangan mahasiswa terhadap kebijakan kenaikan tarif rawat jalan di RSUD R Syamsudin SH atau yang lebih dikenal sebagai RS Bunut.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Sukabumi menilai, langkah manajemen rumah sakit yang menaikkan tarif pelayanan dari Rp40.000 menjadi Rp65.000 merupakan keputusan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Ketua PMII Kota Sukabumi, Bahrul Ulum, menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk kepekaan sosial yang tumpul.
“Di tengah kondisi masyarakat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, pemerintah justru menambah beban lewat kenaikan biaya berobat. Ini kebijakan tanpa empati, tanpa hati,” ujarnya dengan nada tegas, Jumat (17/10).
Menurut Bahrul, keputusan tersebut menunjukkan lemahnya komitmen Pemkot Sukabumi terhadap prinsip keterbukaan publik. Ia menyoroti bahwa kenaikan tarif dilakukan tanpa ada sosialisasi dan transparansi yang layak.
“Publik berhak tahu apa dasar hukumnya, bagaimana perhitungan biayanya, serta ke mana arah penggunaan tambahan dana itu. Tanpa itu semua, wajar jika masyarakat menduga ini sekadar upaya mengalihkan beban keuangan ke pundak rakyat,” tambahnya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa rumah sakit milik daerah seharusnya tidak dijalankan dengan mentalitas korporasi.
“RSUD bukan perusahaan dagang. Kalau pelayanan kesehatan dikelola dengan logika untung rugi, maka hak rakyat sedang diperjualbelikan,” ucap Bahrul.
Bahrul juga menyoroti pernyataan pihak RSUD yang menyebut belum ada keluhan masyarakat terkait kenaikan tarif. Ia menilai komentar itu justru memperlihatkan ketimpangan perspektif antara pengelola dan masyarakat.
“Rakyat diam bukan karena setuju, tapi karena sudah terbiasa diabaikan. Mereka lelah bicara, karena suaranya tak pernah sampai ke telinga pengambil kebijakan,” sindirnya.
PMII juga menilai kenaikan tarif bagi pasien umum berpotensi memperlebar jurang ketimpangan akses kesehatan. Meski pihak RSUD menegaskan peserta BPJS tidak terdampak, realitasnya tak sesederhana itu.
“Masih banyak masyarakat pekerja informal yang kesulitan mendaftar BPJS karena hambatan administrasi. Jadi, kenaikan tarif tetap memukul warga miskin,” ungkapnya.
Oleh karena itu, PMII menuntut pihak RSUD R Syamsudin SH untuk segera membuka kajian dasar kenaikan tarif secara transparan. Selain itu, Pemerintah Kota Sukabumi diminta turun tangan melakukan evaluasi menyeluruh dan memastikan kebijakan ini tidak memperparah beban masyarakat.
“Kalau kenaikan dilakukan tanpa kajian sosial dan tanpa mempertimbangkan dampak ke masyarakat kecil, maka harus dicabut dan dikembalikan seperti semula,” tegasnya.
Bahrul menutup pernyataannya dengan sindiran keras kepada Pemkot Sukabumi.
“Jangan berlindung di balik Perda untuk melegitimasi kebijakan yang menyakiti rakyat. Jangan biarkan rumah sakit berubah jadi mesin pungutan legal. Tugas pemerintah itu menolong rakyat yang sakit, bukan ikut menambah penderitaan mereka,” pungkasnya. (Ky)

