SUKABUMI – Di balik tenangnya suasana Kampung Pesantren, yang terletak di Kebonpedes, Sukaraja, Sukabumi, tersimpan jejak sejarah seorang ulama karismatik dan pejuang yang menjadi salah satu perintis pendidikan Islam di wilayah ini. Sosok tersebut adalah Syeikh Tubagus Raden Syarif Muhammad Husein, yang lebih dikenal masyarakat sebagai Mama Cimuncang.
Beliau bukan hanya seorang tokoh agama, tetapi juga seorang pejuang yang terlibat langsung dalam perlawanan terhadap penjajah Belanda. Diriwayatkan bahwa Mama Cimuncang sempat bermukim di Ciwalen, Cianjur, sebelum akhirnya harus mengungsi akibat konflik bersenjata dengan Belanda. Dalam pengungsian itulah beliau menuju daerah selatan, menetap di Jampang, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Kebonpedes, Sukabumi.
Baca Juga : Sejarah Hari Raya Waisak dan Penetapannya sebagai Libur Nasional di Indonesia
Di daerah Kebonpedes inilah beliau mendirikan sebuah pesantren, yang diyakini sebagai pesantren pertama dan tertua di Sukabumi. Keberadaan pesantren ini begitu penting dalam perkembangan Islam di wilayah Sukabumi bagian utara. Wilayah di sekitar tempat pesantren tersebut kini bahkan dikenal dengan nama “Kampung Pesantren”, menandakan betapa besar pengaruh Mama Cimuncang terhadap kehidupan sosial dan spiritual masyarakat sekitar.
Nama Cimuncang, yang menjadi julukan beliau, berasal dari sebuah sungai bernama Sungai Cimuncang. Sungai tersebut memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat karena Mama Cimuncang membuat saluran irigasi dari sungai tersebut untuk mendukung pertanian dan perkebunan di sekitar Kebonpedes dan Kampung Pesantren. Upaya beliau ini menunjukkan bahwa perjuangannya tidak hanya dalam bidang agama, tetapi juga menyentuh aspek pemberdayaan masyarakat dan kemandirian ekonomi lokal.
Baca Juga : Jejak Sejarah Ex Instituut Soekaboemi, Cikal Bakal SMA dan SMK Muhammadiyah Sukabumi
Hingga kini, makam Mama Cimuncang masih diziarahi dan dihormati, terletak di Kandang Ziarah, Kampung Pesantren, Kebonpedes, Sukaraja. Sosoknya dikenang sebagai ulama pejuang, pendidik, dan tokoh pembangunan masyarakat yang warisannya masih terasa di tengah masyarakat Sukabumi.(Sei)