SUKABUMIKU.id – Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 terus menuai protes keras dari masyarakat. Sebuah petisi online yang menolak kenaikan PPN tersebut telah mengumpulkan lebih dari 171 ribu tanda tangan hingga Senin (23/12) pagi.
Inisiator petisi, Bareng Warga, menyatakan bahwa kenaikan PPN akan semakin menyulitkan rakyat, mengingat daya beli masyarakat yang masih lemah. Kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari, mulai dari sabun mandi hingga BBM, akibat kenaikan PPN dikhawatirkan akan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.
Klaim awal Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa kenaikan PPN hanya akan menyasar barang dan jasa mewah terbukti tidak benar. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah mengkonfirmasi bahwa tarif PPN 12% akan berlaku untuk semua barang dan jasa yang sebelumnya dikenakan tarif 11%. Artinya, kenaikan ini akan berdampak pada berbagai produk dan layanan yang dikonsumsi masyarakat luas, termasuk pulsa, langganan streaming seperti Netflix, dan kebutuhan pokok lainnya.
Meskipun gelombang penolakan terus menguat, pemerintah tampak bergeming. Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menyatakan bahwa sebenarnya ada peluang untuk menunda atau membatalkan kenaikan PPN, baik melalui revisi UU HPP dengan persetujuan DPR atau penerbitan Perppu oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun, hingga saat ini, Presiden belum mengambil langkah tersebut.
Askar menduga keengganan pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN disebabkan oleh perencanaan kebijakan yang kurang matang dan perubahan pernyataan pemerintah terkait barang yang terdampak PPN. Ia menilai pemerintah “kebakaran jenggot” dan takut kehilangan muka jika membatalkan kebijakan yang telah diumumkan.
Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, berpendapat bahwa alasan utama pemerintah ngotot menaikkan PPN adalah kebutuhan dana untuk membiayai program-program andalan pemerintahan Prabowo-Gibran. PPN dianggap sebagai instrumen termudah dan paling efektif untuk meningkatkan penerimaan negara.
Senada dengan Huda, Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menambahkan bahwa pemerintah juga membutuhkan dana untuk melanjutkan program-program era Jokowi, seperti pembangunan IKN, serta menghadapi utang jatuh tempo. Ia menyarankan agar pemerintah mencari alternatif sumber pendanaan lain, seperti pajak windfall profit komoditas dan pajak karbon.
Yusuf juga mengkritik pemerintah yang terkesan hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% tanpa memperhatikan tekanan yang dialami masyarakat kelas menengah dan menurunnya daya beli. Ia menilai pemerintah seharusnya mempertimbangkan kondisi riil perekonomian sebelum memutuskan untuk menaikkan tarif PPN.
(mrf/*)