SUKABUMIKU.id – Polemik mengenai rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025, akhirnya mendapat penjelasan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, menegaskan bahwa hasil dari kebijakan penyesuaian tarif PPN ini akan dikembalikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk bantuan sosial.
“Pajak yang dikumpulkan akan kembali kepada rakyat melalui program-program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, serta subsidi lainnya seperti listrik, LPG 3 kg, BBM, dan pupuk,” ungkap Dwi Astuti pada Jumat (22/11).
Selain itu, pemerintah berencana membebaskan Pajak Penghasilan (PPh) bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet di bawah Rp500 juta. Pemerintah juga memperluas lapisan penghasilan yang dikenakan tarif terendah 5 persen, yakni dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah. Di sisi lain, individu dengan penghasilan lebih dari Rp5 miliar akan dikenakan tarif PPh tertinggi, yaitu 35 persen.
Dwi Astuti menambahkan bahwa tidak semua barang akan dikenakan PPN. Barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran akan dikecualikan. Begitu pula dengan sejumlah jasa, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial, transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan, yang juga bebas dari PPN.
“Dengan demikian, kebutuhan dasar masyarakat tidak akan terpengaruh oleh kebijakan ini,” tegasnya.
Kenaikan PPN ini merupakan pelaksanaan amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang menetapkan tarif PPN menjadi 11 persen pada 2022 dan 12 persen pada 2025. Meskipun sudah ditetapkan dalam undang-undang, rencana kenaikan tarif PPN ini menimbulkan protes keras dari berbagai kalangan.
Salah satu kelompok yang menyuarakan penolakan adalah buruh. Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengancam akan menggelar aksi mogok nasional jika pemerintah tetap melanjutkan rencana kenaikan PPN tanpa diimbangi dengan kenaikan upah yang sesuai. “Jika pemerintah tetap menaikkan PPN tanpa penyesuaian upah, KSPI bersama serikat buruh lainnya akan menggelar mogok nasional dengan melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia,” kata Said Iqbal dalam keterangan resminya pada Selasa (19/11).
Selain buruh, penolakan terhadap rencana kenaikan PPN juga datang dari masyarakat di media sosial, yang menganggap kebijakan ini akan semakin menekan daya beli masyarakat yang tengah terpuruk akibat krisis ekonomi, pengangguran, dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Meskipun banyak tentangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa hingga saat ini tidak ada rencana untuk menunda kenaikan PPN. Menurutnya, meskipun banyak pro dan kontra mengenai kebijakan ini, pemerintah harus menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tetap dapat berfungsi sebagai penyangga di tengah krisis ekonomi global. “APBN harus mampu merespon dengan baik dalam menghadapi krisis finansial global. Countercyclical harus tetap dijaga,” ungkap Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komisi XI, Rabu (13/11).