SUKABUMIKU.id – 1Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini diambil demi menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Bukan membabi buta, tetapi APBN memang harus tetap dijaga kesehatannya,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Namun, kebijakan ini menuai kekhawatiran, terutama di sektor makanan dan minuman, yang sangat sensitif terhadap perubahan harga. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman, menyatakan bahwa meskipun PPN hanya naik 1%, dampaknya terhadap harga barang sangat signifikan. “Kenaikan 1% itu akan dirasakan langsung oleh konsumen. Apalagi FMCG pangan itu price sensitive,” katanya. Ia memperkirakan bahwa kenaikan PPN 1% akan mendorong kenaikan harga barang sekitar 2-3% di tingkat konsumen.
Hal serupa disampaikan oleh Budihardjo, yang mengingatkan bahwa sentimen boikot bisa muncul akibat kenaikan harga barang. “Kalau semua orang saving, nggak bergerak ekonominya,” katanya, mengingatkan pentingnya konsumsi dalam perekonomian.
Data terbaru menunjukkan bahwa tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2024 hanya tumbuh 4,91%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kuartal II-2024 yang mencatatkan 4,93%. Penurunan ini berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi, yang hanya mencatatkan 4,95% pada kuartal III-2024, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya.
Selain sektor pangan, sektor otomotif juga diprediksi terdampak. Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Bob Azam, menjelaskan bahwa kenaikan PPN 1% bisa memicu kenaikan harga kendaraan lebih dari 3-5%, akibat dampak multiplier di rantai pasok industri otomotif.
Tekanan Inflasi dan Dampak terhadap Rumah Tangga Miskin
Kenaikan tarif PPN berisiko memperburuk inflasi, yang sudah menjadi perhatian banyak pihak. Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, mengungkapkan bahwa tarif PPN yang lebih tinggi akan langsung mempengaruhi harga barang dan jasa, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Hal ini tentunya memberatkan rumah tangga dengan penghasilan rendah. Riset Indef juga memperlihatkan bahwa kenaikan PPN berpotensi menurunkan upah riil, Indeks Harga Konsumen (IHK), dan pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya dapat mengurangi konsumsi rumah tangga.
Kenaikan PPN juga diperkirakan akan menurunkan konsumsi rumah tangga sebesar 3,32%, serta berdampak pada penurunan ekspor dan impor. Hal ini mengindikasikan potensi kontraksi ekonomi yang lebih dalam.
Sektor Perhotelan dan Restoran Tertekan
Industri perhotelan dan restoran juga menjadi salah satu sektor yang akan merasakan dampak langsung dari kenaikan PPN. Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, menyebutkan bahwa sektor ini sudah menghadapi tekanan besar, termasuk dari penurunan daya beli masyarakat. “Kenaikan PPN ini akan memengaruhi konsumsi masyarakat, khususnya yang target marketnya adalah menengah bawah,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa selain kenaikan PPN, sektor ini juga menghadapi pemotongan anggaran pemerintah untuk perjalanan dinas dan akomodasi, yang mengharuskan pengusaha melakukan efisiensi biaya.
Buruh Menuntut Kenaikan Upah
Presiden KSPI, Said Iqbal, juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat penurunan daya beli masyarakat. Ia menilai kenaikan PPN yang mencapai 12% akan membuat barang dan jasa semakin mahal, sementara kenaikan upah minimum yang hanya sekitar 1%-3% tidak cukup untuk menutupi biaya hidup. “Kami akan menggelar mogok nasional jika tuntutan kami tidak dipenuhi,” tegasnya, mengancam aksi mogok dengan melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia.
Desakan untuk Menunda Kebijakan PPN
Sejumlah pihak, termasuk Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mendesak pemerintah untuk menunda kenaikan PPN ini. Alphonzus menyatakan bahwa kebijakan ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah bawah, yang pada gilirannya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia mengingatkan bahwa konsumsi rumah tangga menyumbang 57% dari PDB Indonesia, sehingga penurunan daya beli dapat menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi pemerintah yang sebesar 8%.
Kesimpulan
Kenaikan tarif PPN yang direncanakan pada Januari 2025 memunculkan kekhawatiran di berbagai sektor, terutama di tengah kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih. Sektor-sektor sensitif, seperti pangan, otomotif, perhotelan, dan restoran, serta daya beli masyarakat yang tertekan, menunjukkan bahwa kebijakan ini perlu ditinjau ulang untuk menghindari dampak yang lebih buruk terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.