Berita UtamaSukabumi

Titik Nol Kilometer Sukabumi, Masyarakat Harus Seperti Apa?

×

Titik Nol Kilometer Sukabumi, Masyarakat Harus Seperti Apa?

Sebarkan artikel ini
titik nol Sukabumi
PUSAT: Keberadaan titik nol Kota Sukabumi mengandung makna dan sejarah. Foto:istimewa

SUKABUMIKU.id– Titik nol Sukabumi, salah satu warisan  Pemerintah Hindia Belanda, termasuk dalam hal penataan kota. Masyarakat tidak hendak mengaburkan sejarah dan mereduksinya bahwa Belanda bukan penjajah, walaupun peninggalan Belanda sampai sekarang ini masih dapat dimanfaatkan terutama oleh Pemerintah Kota Sukabumi.

” Toh, sebagian besar dari kita juga mempercayai bahwa penamaan Sukabumi merupakan hasil jerih payah seorang Andries de Wilde. Hal lainnya, pegiat kesejarahan pun tidak dapat lepas mengurai informasi di era kolonialisasi. Beberapa bangunan produk Belanda pun telah diusulkan sebagai warisan yang harus dilestarikan dalam bingkai cagar budaya,”ujar Pengamat Sejarah dan Budaya, Kang Warsa

Kenyataan bahwa Belanda telah mewariskan masa lalu bagi generasi sekarang tidak perlu dihadapi secara getir. Bagaimana juga, budaya tidak bersifat kaku. Justru ketika kita memandangnya secara rigid akan memunculkan dilema, apalagi ketika generasi sekarang masih memendam sikap sungkan menelusuri jejak masa lalu leluhur (karuhun).

” Kita hanya dapat membayangkan, situasi dan kondisi satu abad lalu, penataan Kota Sukabumi oleh Belanda benar-benar murni memerhatikan hal terbaik untuk wilayah ini. Misalnya, pembuatan saluran air bawah tanah dimaksudkan untuk mengantisipasi banjir. Saluran-saluran bawah ini justru baru diketahui keberadaannya oleh generasi sekarang baru beberapa tahun terakhir ini,” jelasnya.

Maka, kata Warsa sudah selaiknya generasi sekarang juga memikirkan pembangunan dari mulai penataan perkotaan hingga memfungsikan apa yang telah dibangun ini dengan memerhatikan kemanfaatannya. Pusat kota semakin padat, tidak hanya oleh hunian dan pusat perbelanjaan, juga oleh faktor dinamis, kehadiran manusia. Sangat musykil bagi sebuah kota menolak kehadiran manusia di ruang-ruang keramaian dan pusat kota ketika konsensus yang dibangun didasarkan pada ikatan transaksi dan kebutuhan.

” Kehadiran ruang publik dengan wajah baru di pusat kota saja telah mampu menarik pengunjung dari luar kota, misalnya, Lapang Merdeka dikunjungi juga oleh orang-orang dari luar Kota Sukabumi,” jelasnya

Keberadaan titik nol kilometer Kota Sukabumi di zaman sekarang memang harus difungsikan bukan hanya untuk menentukan jarak sebuah kota ke daerah-daerah lain seperti Ibu Kota Provinsi dan Ibu Kota Negara. Penggunaan GPS dan peta virtual sudah mengubah keabsolutan jarak menjadi kenisbian yang dimiliki oleh setiap orang. Setiap orang dapat mengetahui jarak tempuh ke kota terjauh sekalipun berdasarkan titik lokasi mereka berada melalui gawai canggihnya.

” Untuk mengetahui jarak dari Kota Sukabumi ke Bandung, warga kota sudah tidak perlu lagi menanyakannya ke jawatan pemerintah seperti kantor pemerintahan, kantor pos, hanya cukup membuka aplikasi peta virtual kemudian sentuh tombol rute,” jelasnya.

Titik nol kilometer Kota Sukabumi harus difungsikan sebagai pemindai pembangunan sebuah kota, bahkan bila perlu menjadi penanda dalam memunculkan radius pembangunan entitas perkotaan dari pusat ke daerah perbatasan. Harus diakui, mewujudkan pembangunan sebuah kota hingga membentuk kota ideal mulai dari infrastruktur hingga suprastrukturnya bukan hal sederhana. Mungkin dibutuhkan waktu ratusan tahun karena berbanding lurus dengan upaya menanamkan kesadaran semua pihak dalam menata kotanya sendiri.

” Pada peta virtual dengan citra satelit, kita dapat mengamati dan menganalisa bagaimana pola tata ruang wilayah kota-kota yang telah dikatakan lebih maju. Hampir semua bangunan memiliki pola teratur, ke arah mana bangunan-bangunan menghadap, berapa ukuran ideal sebuah bangunan, berapa perbandingan jumlah bangunan dengan ruang terbuka hijau,” jelasnya.

Akan jauh berbeda ketika sorotan peta virtual diarahkan ke kota-kota di negara dunia ketiga. Rata-rata memiliki pola bangunan acak, sebaran yang tidak merata, bahkan di beberapa kota akan kita temui kesenjangan mencolok antara pemukinan yang tersusun acak ini dengan kebutuhan ruang terbuka hijau yang sering terabaikan. Seorang teman pernah bertanya tentang fenomena ini, kenapa melalui citra satelit saja kota-kota di negara dunia ketiga dapat kita saksikan benar-benar tidak tertata rapi?

” Hal ini dapat saja disebabkan oleh pola pikir, sikap, watak, dan tabiat kurang baik penduduknya. Ketika satu kota terlihat tidak rapi dalam menata ruang sudah dipastikan hal ini sebagai pengaruh dari kebiasaan buruk penghuninya yang sulit menata dirinya sendiri, masyarakatnya, dan kotanya. Kita harus mengakui ini secara jujur,” katanya.

Pemerintah mulai dari pusat hingga daerah sudah tentu akan mengalami kesulitan menata ulang kembali atau menata ulang ruang-ruang yang telah terisi penuh oleh bangunan beton dengan pola alakadarnya. Pemerintah hanya perlu memberikan pemahaman betapa penting penataan kota dan menyusun pola tata ruang yang rapi dan tertata baik demi alasan citra atau penampakan setiap wilayah telah dapat diakses dari manapun oleh siapa saja. Bayangkan jika sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan, seorang John Rambo dari Amerika Serikat tidak dapat menyembunyikan rasa takjubnya ketika dia melihat citra satu kawasan di Kota Sukabumi tertata sangat rapi mengalahkan kota-kota modern di dunia pada aplikasi peta virtual 3D.

Saat ini masyarakat Sukabumi masih kalah oleh masyarakat Baduy Dalam. Rumah seorang pun sebagai titik nol kilometer pemukiman penduduk menjadi sentral tata perkampungan. Ke mana bangunan itu menghadap, rumah penduduk cenderung memiliki ukuran dan jenis yang sama untuk menghindari kecemberuan sosial, dan penataannya pun benar-benar terpola secara baik.

” Orang modern seperti kita harus banyak belajar kepada mereka yang kita pandang masih berperilaku sangat tradisional. Yakinlah, mereka lebih rapi dari kita,” pungkasnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *